Adab Dalaman Murid
1. Seorang murid hendaknya tunduk kepada keinginan Mursyidnya (shaikh) dan ta’at kepadanya dalam semua perintah dan nasihatnya, karena Guru Mursid memiliki lebih banyak pengalaman dan lebih banyak pengetahuan dalam haqiqat, dalam tariqat dan dalam shari'ah. Sebagaimana seorang yang sakit menyerahkan dirinya kepada dokternya untuk disembuhkan, begitu pula sang murid, sakit dalam adab dan kelakuannya, berserah diri kepada pengalaman shaikhnya agar supaya disembuhkan.
2. Seorang murid hendaknya tidak menentang cara sang Guru mengarahkan (memberi instruksi) dan mengendalikan sang murid. Setiap shaikh memiliki caranya tersendiri, yang diizinkan untuk digunakan oleh Gurunya. Imam Ibn Hajar al-Haythami mengatakan, "Barangsiapa membuka pintu kritik terhadap guru dan kelakuan (perlakuan) guru terhadap para murid akan dihukum dan akan diisolasi (dikucilkan) dari mendapatkan pengetahuan spiritual. Barangsiapa berkata kepada Gurunya, 'Mengapa?' tidak akan berhasil." [al-Fatawa al-Hadithiyya, halaman 55]
3. Seorang murid hendaknya mengetahui bahwa Guru boleh jadi melakukan beberapa kesalahan, namun hal ini tidak menghalanginya dari mengangkat murid itu kepada Hadhirat Ilahi (Divine Presence). Jadi sang murid harus mema’afkan Guru, karena Guru bukanlah Nabi (s.a.w.) . Hanya Nabi (s.a.w.) bebas dari kesalahan. Meskipun jarang, seperti halnya dokter mungkin melakukan kesalahan dalam menangani seorang penderita (patient), begitu juga Guru membuat kesalahan dalam menangani penyakit spiritual murid, dan itu harus dima’afkan.
4. Seorang murid hendaknya menghormati dan memuliakan Guru baik dalam hadir maupun absennya, jika hanya karena Guru dapat melihat dengan mata hati (qalbu)nya. Dikatakan bahwa bila seseorang tidak gembira dengan perintah-perintah Gurunya, dan tidak mempertahankan kelakuan dan adabnya yang baik, (dia) tidak akan mempertahankan kelakuan baiknya terhadap al Qur’an dan dengan Sunnah Nabi (s.a.w.). Shaikh Abdul Qadir Jailani berkata, "Barangsiapa mengkritik seorang wali, Allah akan menyebabkan (menjadikan) qalbunya layu."
5. Sang murid hendaknya jujur dan setia dengan kebersamaannya dengan Gurunya.
6. Dia hendaknya mencintai Gurunya dengan cinta luar biasa. Dia hendaknya tahu bahwa Gurunya akan membawanya sampai kepada Hadhrat Allah, Yang Agung (Almighty) dan Tinggi (Exalted), dan kepada hadhrat Nabi (s.a.w.).
7. Dia hendaknya tidak melihat kepada selain Gurunya, meskipun dia tetap harus mempertahankan hormat kepada semua shaikh lainnya.
Adab Luaran Murid
1. Dia hendaknya setuju dengan pendapat Gurunya secara keseluruhan, sebagaimana seorang penderita (patient) setuju dengan dokternya (physician).
2. Dia hendaknya berkelakuan baik dalam jama’ah Gurunya, dengan mencegah menguap, terbahak-bahak, meninggikan suaranya, berbicara tanpa perkenannya, melonjorkan kakinya, dan selalu duduk dalam sikap sopan
3. Dia hendaknya melayani Gurunya dan membuat dirinya se-berguna mungkin.
4. Dia hendaknya tidak menyebutkan dari khutbah Gurunya apa-apa yang tidak dimengerti oleh pendengar (jema’ah)nya. Ini mungkin membahayakan Gurunya dengan cara yang tidak disadari murid itu. Sayyidina Ali berkata, dalam sebuah hadith yang diberitakan dalam Bukhari, "Berkatalah kepada orang pada tingkatan yang mereka mengerti, karena engkau tidak ingin mereka menolak Allah dan Rasul (s.a.w.) Nya."
5. Dia hendaknya hadir dalam jama’ah Gurunya. Meskipun tinggal ditempat yang jauh, dia harus berusaha untuk datang sesering mungkin.
Ibn Hajar al-Haythami berkata, "Banyak orang, apabila mereka melihat petunjuk (Guru)nya keras di dalam hal fardhu dan Sunnah Nabi (s.a.w.), menuduh (Guru)nya terlalu ketat. Mereka mengatakan bahwa dia (Guru) shalat terlalu banyak atau mempertahankan Sunnah terlalu (ber)kukuh. Orang-orang ini tidak menyadari bahwa mereka sedang jatuh kepada kehancuran diri mereka sendiri. Berhati-hatilah dalam percaya kepada gerutuan ego-mu tentang keketatan Guru kepada penegakan shari'ah." [al-Fatawa al-Hadithiyya, halaman 55.]
Abu Hafsa al-Nisaburi dikutip (quoted) dalam buku Shaikh as-Sulami's Tabaqat as-sufiyya, halaman 119, mengatakan: "Sufism terdiri dari adab [kelakuan baik]. Untuk setiap keadaan dan tingkat terdapat adab yang sesuai (dengan tingkat dan keadaan itu). Untuk setiap waktu terdapat kelakuan yang sesuai. Barangsiapa mempertahankan adab akan mencapat Maqam Insan Kamil (the Station of Manhood), dan barangsiapa meninggalkan adab akan dijauhkan dari keterterimaan ke dalam Hadhirat Allah (Allah's Divine Presence)."
Kelakuan Murid dengan sesama Saudara (Murid)
1. Dia hendaknya mempertahankan hormat untuk mereka baik dalam hadir maupun ketiadaanya, tidak mengihianatinya.
2. Dia hendaknya memberikan nasihat kepada mereka apabila mereka memerlukannya dengan maksud untuk memperkuat mereka. Nasihatnya kepada mereka hendaknya (diberikan) secara pribadi dan hendaknya penuh dengan kerendahan dan bebas dari kesombongan. Dia yang diberi nasihat hendaknya menerimanya, hendaknya berterima-kasih, dan hendaknya melaksanakan nasihat itu.
3. Dia hendaknya hanya berbaik sangka kepada saudaranya dan tidak mencari-cari kelakuan buruk mereka.
4. Dia hendaknya menerima permintaan ma’af mereka, bila mereka memintanya.
5. Dia hendaknya selalu dalam kedamaian dengan mereka.
6. Dia hendaknya membantu mereka bila sedang diserang.
7. Dia hendaknya tidak meminta menjadi pemimpin mereka, hanya menjadi sesama saudara dengan mereka.
8. Dia hendaknya memperlihatkan kerendahan hati kepada mereka sejauh mungkin. Nabi (s.a.w.) berkata, "Pemimpin suatu kaum adalah mereka yang melayani kaumnya itu."
Kelakuan baik dari murid sesungguhnya tiada batasnya. Dia hendaknya selalu berusaha keras (jihad) dan membuat kemajuan dengan Gurunya, dengan sesama saudaranya, dengan masyarakatnya, dan dengan Bangsanya, karena Allah selalu memperhatikan dia, Nabi (s.a.w.) selalu memperhatikan dia, Guru selalu memperhatikan dia, dan para Guru-Guru yang telah mendahului mereka selalu memperhatikan mereka. Dengan kemajuan yang tetap, hari demi hari, dia akan mencapai Keadaan Kesempurnaan (the State of Perfection) dengan petunjuk dan bantuan Gurunya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Siapa pn yg bergelar guru, tidak maksum, melainkan nabi. Penyerahan total sorg murid kpd gurunya mestilah bersyarat n terdapat pengecualian. Ertinya, jika guru menyuruhnya dlm hal2 yg salah, maka dia tidak boleh terus saja taat. Ketaatan kpd gurunya, hanyalah melibatkn hal2 yg makruf.
Ada suatu kes, sorg murid yg ingin berkahwin dgn sorg wanita yg solehah. Lalu dia beritahu gurunya. Gurunya bertanya: "wanita yg mana akan kau nikahi?" Lalu sang murid memberitahu wanita yg ingin dia nikahi ialah 'fulanah n fulanah'. Lalu gurunya berkata: "wanita itu tidak layak bagi dirimu, ia lebih layak utk bernikah dgn diriku ini". Sedangkn di sisi syariat, murid tadi boleh saja menikahi wanita itu, n tidak ada sbb utk dia mengizinkan gurunya plk menikahi wanita itu. Subhanallah, rasulullah sndiri kekasih Allah, lebih hebat dr para wali, tp baginda tak pernah 'merampas' mana2 wanita yg para sahabatnya ingin nikahi.